Tubuhnya kurus dengan punggung sedikit membungkuk. Mungkin karena usia yang semakin lanjut. Sehari-hari mangkal di depan sebuah warung mie ayam yang selalu ramai dengan pengunjung. Dihadapannya sebuah baskom berisi kue cuwer, makanan khas Cilegon. Makanan yang terbuat dari tepung beras dengan campuran parutan kelapa muda. Ketika sore menyambut malam dan dagangannya belum juga habis, sepasang kaki ringkihnya membawanya berkeliling. Sebuah perjuangan yang tidak ringan di usianya yang menjelang senja.
Mbok Hajar, satu pribadi lain yang juga berjuang untuk dirinya. Anak-anaknya yang sudah berumah tangga, tidak lebih beruntung darinya dari segi ekonomi. Setiap pagi berkeliling komplek menjalani profesinya sebagai pemulung. Tubuh kecil dengan keriput yang menandakan usianya menjelang senja. Ya, usianya sudah menginjak 70-an. Pergerakannya mulai lamban. Itu sebabnya kenapa penghasilannya semakin menurun. Kalah bersaing dengan pemulung lain yang masih muda dan gesit. Salah satu kebiasaannya adalah mengucapkan salam dan bersalaman dengan warga yang kebetulan bertemu atau sedang berada di halaman rumah.
Satu sosok lagi biasa terlihat di salah satu sudut pasar tradisional. Sesosok lelaki tua dengan gelaran berbagai peralatan dapur, seperti pisau, golok, garpu kebun, dan peralatan lain hasil tempaan pandai besi. Dengan setia menawarkan barang dagangannya kepada pengunjung yang melintas. Satu atau dua bilah pisau dapur dan barang-barang lain berpindah tangan. Cukuplah untuk makan siang itu dan sore nanti. Menjelang sore, hamparan dagangan dirapihkan untuk dihamparkan lagi esok pagi.
Perjuangan yang membuat mereka mulia dibandingkan dengan individu-individu lain yang
menadahkan tangan mengandalkan belas kasihan orang lain. Mengetuk pintu rumah yang satu kemudian ke rumah yang lain. Padahal, usia mereka belumlah terlalu renta. Bahkan banyak yang terlihat begitu gagah dan mampu berdiri tegak. Kemalasankah yang membuat mereka seperti itu?